MadeincopaS | Tari Tor-Tor Diklaim Malaysia? - Budaya kita di klaim negara lain? Sudah biasa, karena negara kita
selalu mengajarkan dan membiarkan proses plagiat, proses duplikat,
bajakan berkembang luas. Kita terpancing emosi lalu menunduk malu karena
kenyataannya kitalah sendiri yang tidak menghargai budaya bangsa
sendiri.
Dulu ada batik yang diklaim, ada juga reok Ponorogo ikut diklaim,
masakan rendang Padang dan kini tarian “TOR-TOR dan Gondang Batak”
giliran yang kena klaim. Ada apa dengan bangsa kita ini? Hingga satu
demi satu identitas budaya serta identitas bangsa diakui oleh bangsa
lain dan yang lebih menyakitkan diklaimnya oleh bangsa tetangga yang
dulu notabene belajar bertaninya dari kita.
Sebagai mana yang kita ketahui bahwa Batak terbagi dari 5 suku (Karo,
Toba, Simalungun, Mandailing dan Tapanuli) adalah kaya akan adat
istiadat daerah. Dari 5 suku tersebut, ada puluhan marga (nama belakang,
ciri kesukuan) yang beranak pinak lagi hingga antara batak yang satu
dengan yang lain bisa saling berkaitan. Banyak nilai sejarah yang
dilahirkan dari tanah Batak, banyak pahlawan yang dilahirkan oleh tanah
Batak serta banyak juga petinggi-petinggi bangsa ini yang berasal dari
tanah Batak.
Sebagai orang yang dilahirkan di tanah Simalungun dan dibesarkan di
tanah Karo, rasanya saya cukup kecewa melihat perkembangan adat daerah
di Sumatera Utara. Memiliki ibu yang perpaduan antara batak simalungun
dan batak toba dan ayah yang merupakan perpaduan antara jawa(Madiun) dan
batak Karo, wajar jika saya juga merasa prihatin dengan perkembangan
budaya daerah sendiri.
Mari kita lihat kenyataan yang terjadi ditanah Batak sana. Dahulu,
disetiap suku batak ada yang namanya “pesta tahunan” dan itu adalah
ajang pesta budaya daerah sebagai bentuk rasa syukur atas berlimpahnya
hasil bumi. Kegiatan tersebut diisi oleh tari-tarian asli, musik-musik
tradisional Batak hingga tutur sapapun masih mengikuti aturan adat. Kini
acara tersebut memang masih ada, namun nilai budayanya sudah sangat
jauh berkurang. Musik yang mengiringi sekarang hanya sebuah organ
tunggal dengan menghadirkan para penari yang dipesan. Belum lagi acara
dijadikan ajang berlomba-lomba untuk memikat jodoh serta pamer kekayaan
dengan dihambur-hamburkannya uang saweran. Dan itu jugalah yang
tergambar dari pada setiap pesta adat pernikahan-pernikahan di
masyarakat Batak masa kini.
Musik yang akrab kita dengar disetiap acara batak adalah house musik
batak, organ tunggal serta lagu batak yang diremixkan. Begitu juga yang
berkembang pada kumpulan-kumpulan masyarakat batak yang merantau di
daerah lainnya, hingga nilai budaya itu sedikit demi sedikit tergerus
oleh modernisasi yang tak jelas. Belum lagi, di radio lokal, di televisi
lokal dan di media lokal Sumatera Utara, acara yang ditonjolkan serta
diliput bukan lagi acara lokal yang menggangkat seni budaya lokal, namun
cerita dan budaya luar yang disuguhkan.
Begitu juga dengan danau Toba, dahulu ada yang namanya “festival
danau Toba” yang begitu bergema serta menjadi daya tarik wisatawan, kini
ditiadakan. Padahal acara tersebut adalah salah satu ajang untuk
melestarikan budaya batak. Dimana lagi lahan untuk melihat tarian
TOR-TOR? Kapan lagi GONDANG di tampilkan? Jika media untuk menjaga
kelestariannya sedikit demi sedikit dihapus. Mana semboyan “Marsipature
Hutanabe” (mari perbaiki kampung kita/batak Tapanuli), “mari persikap
kuta kemulihenta (mari perbaiki kampung tempat kita kembali/batak Karo)
tersebut?
Saya berharap, pengklaiman Malaysia terhadap tarian TOR-TOR dan
GONDANG Batak, akan menjadi cambuk kesadaran yang kesekian kalinya untuk
kita agar tersadar dalam menjaga identitas budaya bangsa. Dan rasanya
tak cukup hanya dengan kita sadar saja, harus diikuti juga oleh
penyelamatan terhadap kekayaan budaya bangsa ini jika ingin masih
memegang teguh “Bhinneka Tunggal Ika”.
Sumber : http://rudigints.blogdetik.com